kabar umat

segera hadir: koran mingguan
kabar umat

Senin, 21 Februari 2011


Hj. Lenny Umar

Hindari Konflik Rumah Tangga dengan Ibadah
 
Menurut mubaligah Hj. Lenny, konflik antara suami dan istri adalah faktor peretak rumah tangga yang akan membuat sirna harapan mereka untuk mencapai rumah tangga yang sakinah, warahmah dan mawadah. Faktor penyebab yang paling memungkinkan terjadinya konflik antara suami dan istri.
Pertama, kondisi ekonomi rumah tangga. Keadaan ekonomi rumah tangga dinilai sebagai faktor yang menyebabkan terjadinya perselisihan antara suami istri. Kebutuhan yang mendesak tetapi pendapatan yang pas-pasan acapkali menjadi pemicu konflik dalam rumah tangga.
Dalam rumah tangga Islam, baik suami maupun isteri jauh dari sikap mengeluh dan putus asa dalam kondisi apa pun. Tak terkecuali dalam menghadapi kehidupan ekonomi yang pas-pasan. Isteri sebagai pengelola keuangan keluarga memang perlu mengatur pengeluaran dan pendapatan secermat mungkin.
Dengan hati lapang dan sabar, isteri senantiasa menjalani kewajibannya tanpa memiliki rasa kesal dan benci terhadap pendapatan suami. Walaupun  dirasa pas-pasan, sikap isteri senantiasa mesra dan penuh kasih sayang dalam melayani suami dan anak-anaknya.
Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tapi kekayaan adalah yang ada di hati” (HR. Bukhari Muslim)
Salah satu hakikat sabar dalam bahtera rumah tangga adalah menghilangkan keluh kesah pada saat tidak enaknya menghadapi segala kekurangan. Tidak ada keluh kesah selain pada Allah Swt. isteri tipe ini selalu mensyukuri keadaan ekonominya dalam setiap doanya.
Sebab ia tahu bahwa Allah berfirman, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mengumumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Q.S. Ibrahim : 7)
Dalam sikap dan perilaku sabar dan bersyukur yang ditunjukkan isteri, semestinya suami harus semakin termotivasi untuk mencari rejeki. Dalam dirinya muncul semangat untuk lebih menjadi giat dan memaksimalkan ikhtiar untuk menjemput rezeki dar-Nya.
Maka suami isteri harus berupaya istiqomah. Allah berfirman, “Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak).” (Al-Jin : 16)
Selanjutnya berinfak dan bershadaqah. Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Tidak ada satu haripun yang berlalu kecuali ada dua malaikat yang turun, satu malaikat berkata, Ya Allah, berilah kepada orang yang berinfak di hari ini ganti untuknya. Dan malaikat yang lainnya berkata, Ya Allah berikanlah kerugian kepada orang yang tidak berinfak di hari ini.” (HR. Bukhari Muslim).
Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,“Sesungguhnya shodaqoh itu tidak pernah mengurangi harta.” (HR. Bukhari Muslim). Dan berbuat baik kepada orang-orang yang lemah. Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik bahwa Rasulullah Saw., bersabda, “Tidaklah kalian itu mendapatkan rizky dan mendapatkan pertolongan kecuali kalau Bukhari).
Kedua, perselingkuhan dan penyelewengan. Kasus ini sering dianggap sebagai faktor penyebab terjadinya konflik berkepanjangan. Jangankan sudah terjadi perselingkuhan, baru sebatas dugaan dan indikasi yang belum jelas pun kurang-kurangnya dapat memicu terjadinya konflik yang serius. Sebab hal ini menyangkut soal hati dan kepercayaan.
Dalam al-Quran dan Hadist Sahih Bukhari Muslim tentang selingkuh berkaitan dengan keterangan seputar zina. Dalam Islam, perbuatan mendekati zina dilarang apalagi sampai zina sungguh sangat dilarang  oleh Allah, sesuai dengan firman Allah, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (Q.S. Al Isra  32)
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Saw. bersabda, ‘Tidak halal darah seorang muslim, kecuali karena salah satu dari tiga hal: orang yang berzina padahal ia sudah menikah, membunuh jiwa, dan orang yang meninggalkan agamanya lagi memisahkan diri dari jama’ah (kaum muslimin)’.” (H.R Bukhari dan Muslim).
Kedua keterangan tersebut menegaskan bahwa perbuatan selingkuh, baik selingkuh mata, selingkuh perasaan dan hati bahkan selingkuh yang mengarah kepada perbuatan zina merupakan perbuatan tercela. Sebab mana mungkin rumah tangga akan dipenuhi dengan kasih sayang, ketenangan dan kebahagiaan yang diramatai Allah Swt, apabila satu dari pasangan suami isteri telah menodainya dengan perbuatan selingkuh seperti itu.
Konflik yang berdasarkan masalah selingkuh atau menyeleweng acap kali berujung kepada perceraian. Sedikit sekali yang dapat bertahan karena sebab ini. rasa ketidak percayai, rasa dendam, rasa takut dibohongi dan sterusnya akan selalu membayang-bayangi salah satu pihak apabila pasangannya pernah melakukan perselingkuhan.
Oleh sebab itu, suami maupun isteri harus bernar-benar taat kepada Allah Swt. sehingga iman dan taqwanya akan menjadi benteng dari perbuatan terhina itu. Selain itu, suami isteri harus senantiasa berkomunikasi untuk menguatkan tali hati dan kedekatan agar senantiasa diliputi rasa kasih sayang yang tidak semu. 
Keluarga sakinah, warahmah dan mawadah itu di dalamnya tidak saling mendustai, tidak ada cinta semu, tidak pernah menutup-nutupi sesuatu hal dan senantiasa takut kepada Allah Swt karea Dia adalah maha Melihat dan Mendengar.
Ketiga, anak. Anak memang sering menjadi penyebab terjadinya konflik suami dan istri. Sebagian besar menilai bahwa tingkah laku dan kenakalan anak memang mendasari setiap kasus perselisihan mereka.
Adapun yang bertanggung jawab penuh terhadap perilaku si anak adalah orang tua sebagaimana dalam hadits Rasulullah Saw., "Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanya lah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi." (H.R.Bukhari).
Hadits lain menyatakan, “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah”. Maka tergantung kedua orang tuanya, hendak membentuk anak-anak seperti apa. Apabila anak thaleh (salah) dan selalu menyusahkan bersegeralah menyadari bahwa suami atau isteri yang menjadi orangtua mereka telah melalaikan pengasuhan dan pendidikan secara Islami. Sebab anak yang shaleh lahir dari orang tua yang shaleh juga.
Islam mengajarkan kepada kita bahwa sesungguhnya anak itu adalah amanah Allah Swt. yang harus dibina, dipelihara dan di didik secara seksama dan sempurna. Setiap orang tua tentunya ingin agar anaknya menjadi insan kamil yang berguna bagi agama, bangsa dan negara.
Oleh sebab itu, orangtua harus menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya. Mereka harus diajarkan akidah, tauhid, berakhlak dan beribadah sejak dini. Sebab sangat sulit mendidik anak yang sudah berusia remaja dan dewasa. Apabila sudah terlanjur anak selalu menjadi sosok yang menyusahkan. Suami maupun isteri tidak perlu saling menyalahkan.
Isteri dan suami harus cepat-cepat sadar akan kekurangan dan kekhilapan dan segera memperbaiki keadaan. Senantiasa meminta petunjuk dan pertolongan kepada Allah Swt. Agar anak-anak menjadi perhiasan kehidupan dunia yang akan menyenangkan hati. Sebagaimana firmanNya, "Harta benda dan anak-anak itu sebagai perhiasan hidup di dunia" (Q.S. Al Kahfi ayat 46), dan dalam firman-Nya lain, "Wahai Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami (agar) istri kami dan anak cucu kami sebagai penyejuk pandangan mata" (Q.S. Al-Furqon ayat 74).
Keempat, pihak keluarga lain. Pihak keluarga lain juga dinilai sebagai pemicu terjadinya konflik antara suami dan istri. Mertua dan anggota keluarga lain sering menjadi penyebab terjadinya perselisihan antara suami dan istri. Kemungkinan yang paling besar bisa terjadi terutama bila mereka hidup dalam satu atap (mertua dan keluarga utamanya).
Saudara, orangtua atau pihak lain boleh jadi bias menjadi pemicu konflik rumah tangga. Pada dasarnya, dalam menjalankan tugas-tugasnya dan memecahkan konflik rumah tanggga, suami istri hendaknya selalu mengambil jalan musyawarah untuk mencapai solusi terbaik bagi seluruh anggota keluarga.
Apa dan dari mana pun timbulnya masalah, bukanlah perkara yang terlalu harus dipersoalkan. Justru cara dan pendekatan yang baiklah yang perlu dilakukan untuk mencari jalan penyelesaian. Islam mengajarkan kelembutan dan ketenangan dalam menyelesaikan masalah, bukan dengan menggunakan emosi dan perasaan belaka.
Kedudukan suami dalam keluarga pun sesuai dengan fitrahnya dan tanggung jawabnya, adalah kepala dan pemimpin keluarga, maka harus bertanggung jawab atas baik buruknya keluarga. Imam rumah tangga harus mampu bersikap bijak dan adil, tidak semena-mena dalam memberikan keputusan. Begitu juga peran dan tanggung jawab isteri.
Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-Tahrim ayat 6 yang artinya,”hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. Dengan kata lain, suami isteri harus mampu menjaga diri sendiri dan keluarganya dari perbuatan keji dan mungkar yang dibenci Allah, dan senantiasa melakukan amalan baik dan saling menasehati dalam hal kebaikan.
Komitmen menikah dan mengarungi bahtera rumah tangga perlu berlandaskan semata-mata bertujuan ibadah kepada Allah Swt. sehingga disadari betapa hidup menjadi suami isteri dalam jalinan keluarga adalah perjalanan yang sama-sama dilewati dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
"Dan orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka mereka ( adalah) menjadi penolong sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (QS At-Taubah: 71).
Untuk mewujudkan semua itu kuncinya adalah suami dan isteri harus tafahum (saling memahami), ta’awun berarti saling menolong, dan takaful (penyeimbang) dalam segala hal dan dalam kondisi apa pun yang sekiranya keduanya tetap dalam ketaatan kepada Allah Swt. Ahmad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar